Proposal Bioethanol
0
komentar
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Selama ini tandan kosong sawit (TKS) merupakan limbah buangan dari
pabrik minyak sawit yang tersedia dalam jumlah banyak dan belum dimanfaatkan.
Sementara itu laju perkembangan areal tanaman kelapa sawit di Indonesia
meningkat dengan pesat pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 1997, di
Indonesia terdapat tanaman kelapa sawit seluas 2.133.400 ha dimana tanaman yang
telah dewasa akan menghasilkan limbah tandan kosong sawit sek 2,2 juta ton
bobot kering dan diperkirakan pada tahun 2000 akan mencapai 2,8 juta ton bobot
kering (Seminar Nasional MAPEKI, 1998). Sedangkan di Sumatera Barat ada
beberapa perusahaan pengolah tandan buah segar (TBS) di antaranya PTP.VI dengan
kapasitas 60 ton per jam, PT.Bakri PP dengan kapasitas 60 ton per jam sedangkan
PT.Agrowiratama dengan kapasitas 30 ton per jam (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan Perkebunan, Propinsi Sumatera Barat, 2002) dan sekitar 20 – 25 % dari
tandan buah segar (TBS) yang diolah oleh industri merupakan tandan kosong sawit
( TKS ). Jumlah tandan kosong sawit yang makin lama makin bertambah jika tidak
dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan,
sedangkan pemanfaatan limbah tandan kosong sawit ( TKS ) masih terbatas.
Limbah ini biasanya dibakar atau diangkut ke kebun untuk digunakan
sebagai mulsa Pemanfaatan limbah kelapa sawit menjadi limbah yang memiliki
nilai tambah perlu dilakukan, dimana tandan kosong sawit merupakan limbah padat
pabrik minyak kelapa sawit. Sebagai limbah lignoselulosa serat yang terkandung
pada tandan kosong sawit dapat diuraikan secara mekanis atau semi kimia. Proses
semi kimia lebih sesuai untuk penyediaan serat yang harus segera digiling
menjadi pulp kertas dengan kandungan lignin rendah. Sedangkan proses mekanis
dapat digunakan untuk menghasilkan serat yang dapat dimanfaatkan secara
langsung oleh industri panel kayu, atau diolah menjadi kertas.
II.
Tujuan
Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
melakukan evaluasi teknis dan ekonomis terhadap mesin pencacah tandan kosong
sawit. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Memanfaatkan Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS) sebagai bahan baku pembuatan bioethanol.
2.
Melakukan identifikasi struktur dan
sifat fisik tandan kosong sawit.
3.
Menjadikan bioethanol sebagai bahan
bakar ramah lingkungan.
III.
Manfaat
Penelitian
Manfaat Penelitian
ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Memberikan alternatif penggunaan
biethanol sebagai salah satu sumber energi alternatif sekaligus penanganan
limbah berserat, yaitu Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).
2.
Dari kajian ini akan dihasilkan pengetahuan
tentang gaya potong spesifik dan energi potong spesifik dari limbah tandan
kosong sawit.
3.
Dari kajian akan dihasilkan pengetahuan tentang
sudut mata pisau, parameter rekayasa, sudut potong, sudut geser, dan kondisi
operasi optimum yang dapat dipergunakan untuk memotong tandan kosong sawit
secara mekanis.
BAB
II
ISI
I.
LANDASAN
TEORI
A.
Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu
biofuel yang hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah
lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan bahan bakar alternatif yang
diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu menurunkan emisi CO2
hingga 18%, dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil seperti minyak tanah
(Anonim, 2007a). Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang
banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan
dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial
untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar
karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete
(limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung,
jerami, dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan, menyebabkan pihak
pengguna akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang
ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki
daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya, namun
kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70
persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun
lebih sedikit (Anonim, 2008 b). Di sektor kehutanan bioetanol dapat diproduksi
dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah kayu.
Bahan bakar fosil seperi minyak bumi saat ini harganya
semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya
yang tidak dapat diperbaharui. Bahan bakar berbasis produk proses biologi
seperti bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak
dapat dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula
(tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat
(gula,pati,selulosa, dan hemiselulosa) dapat diproses menjadi bioetanol.
Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana),
fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan
bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pasokan bahan pangan sebaiknya
bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak layak/tidak dapat dikonsumsi,
seperti singkong gajah yang beracun, sampah atau limbah apapun yang mengandung
karbohidrat, melalui proses sakarifikasi dan seterusnya (pemecahan gula seperti
tersebut di atas), bahan-bahan tersebut dapat dikonversi pula menjadi
bioetanol.
Produksi etanol Nasional pada tahun 2006 mencapai sekitar 200
juta liter. Kebutuhan etanol Nasional tersebut pada tahun 2007 diperkirakan
mencapai 900 juta liter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol diproduksi dari
tetes tebu, singkong dan jagung. Alternatif lain bahan baku bioetanol yaitu
biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang
berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri
etanol atau butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel, biomassa berselulosa
juga dapat mendukung produksi komersial industri kimia seperti asam organik,
aseton atau gliserol (Wymann, 2002).
Secara lebih spesifik bioetanol adalah cairan yang dihasilkan
melalui proses fermentasi gula dari penguraian sumber karbohidrat dengan
bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Bioetanol dapat juga diartikan sebagai
bahan kimia yang memiliki ada sifat kesamaan dengan minyak premium, karena
terdapatnya unsur – unsur seperti karbon (C) dan hidrogen (H). (Khairani, 2007).
Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan ber
sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan
sari buah mete); bahan berpati (bahan yang mengandung pati) seperti tepung ubi,
tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan
lain–lain; dan bahan berserat selulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung
selulosa dan lignin seperti kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain. Dari
ketiga jenis bahan baku tersebut, terdapat bahan berlignoselulosa sebagai bahan
yang jarang digunakan karena cukup sulit dilakukan penguraiannya menjadi
bioetanol. Ini disebabkan adanya lignin yang merupakan senyawa polifenol
sehingga lebih sukar diuraikan dan selanjutnya mempersulit pembentukkan glukosa
dan jumlahnya sedikit (Khairani, 2007).
B.
Biogasoline (gasohol) dan Perkembangannya
Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan
porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin
mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin
mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bioetanol ) dan
gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih baik dari
premium dan setara dengan pertamax (Anonim, 2008). Bahan bakar ini jika
dioperasikan pada mesin berbasis gasoline akan menghasilkan emisi
karbonmonoksida (CO) dan senyawa lain hidrokarbon lebih sederhana hasil
pembakaran (oksidasi) tidak sempurna pada tingkat lebih rendah dibandingkan
dengan pengoperasian bahan bakar konvensional (gasoline). Ini disebabkan adanya
etanol yang sudah mengandung oksigen (O2) sekitar 35% dapat meningkatkan
efisiensi pembakaran/ oksidasi. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama
Gasohol, telah dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan campuran 10%
bioetanol (dari bahan baku jagung) dan 90% gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk
campuran gasoline dibuat dari bahan baku tebu, dan digunakan dalam kadar 10%.
Di Finlandia, biogasoline yang digunakan memiliki kadar bioetanol 5% dan
memiliki angka oktan 98. Di Jepang, sejak tahun 2005 sudah mulai digunakan
gasoline dengan campuran 3% bioetanol, dan diharapkan pada tahun 2012 seluruh
gasoline yang dijual di Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun 2006
Thailand telah menjual gasohol 95, dan direncanakan pada tahun 2012 Thailand
akan mengganti seluruh gasoline dengan biogasoline.
Tabel 1.
Sumber, hasil panen dan rendemen alkohol sebagai hasil konversi
Sumber karbohidrat
|
Hasil panen ton/ha/th
|
Perolehan alkohol
|
|
liter/ton
|
liter/ha/th
|
||
Singkong
|
25 (23,6)
|
180 (155)
|
4500 (3658)
|
Tetes tebu
|
3,6
|
270
|
973
|
Sorgum biji
|
6
|
333,4
|
2000
|
Ubi jalar
|
62,5
|
125
|
7812
|
Sagu
|
6,8
|
608
|
4133
|
Tebu
|
75
|
67
|
5025
|
Nipah
|
27
|
93
|
2500
|
Sorgum manis
|
80
|
75
|
6000
|
Sumber: Anonim
(2005); Nurdyastuti ( 2008) dan Assegaf ( 2009).
Bulan Agustus 2006, Perusahaan minyak negara (Pertamina)
telah meluncurkan produk biopremium, namun masih terbatas di stasiun pengisian
bahan bakar utama (SPBU) berlokasi di Jalan. Mayjen M. Wiyono, Malang.
Biopremium yang dijual dibuat dari campuran Premium dengan 5% bioetanol.
Bioetanol untuk campuran biopremium diproduksi oleh PT Molindo Raya Industrial
(MRI) di Lawang menggunakan bahan baku tetes tebu. Sejak diluncurkan, respon
masyarakat cukup baik, dengan meningkatnya omzet penjualan. Sedangkan di
Jakarta, sejak Desember 2006 sudah dapat dilihat BioPertamax di beberapa SPBU,
antara lain pada SPBU di jalan. Tentara Pelajar, Senayan (Jakarta Selatan).
Pengembangan selanjutnya di wilayah Jawa Barat, di mana Pertamina meluncurkan
biopremium di Bandung tahun 2007. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
direncanakan akan didirikan pabrik etanol berkapasitas 200 juta liter etanol
per tahun oleh PT Mitra Sae Internasional di Kuningan bekerja sama dengan LBL
Network Ltd.dari Korea Selatan dengan bahan dasar ubi kayu jenis Manihot
esculanta trans.w (http://www.pertamina.com)
II.
POTENSI SUMBER BIOETANOL
A.
Tandan Kosong Kelapa Sawit
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah biomassa
berserat selulosa yang memiliki potensi besar dengan kelimpahan cukup tinggi.
TKKS merupakan hasil samping dari pengolahan minyak kelapa sawit yang
pemanfaatannya masih terbatas sebagai pupuk, bahan baku pembuatan matras, dan
media bagi pertumbuhan jamur serta tanaman. Hasil penelitian Iriani (2009) dalam
Muthuvelayudham dan Virethagiri (2007) bertujuan untuk mendapatkan kondisi
sakarifikasi terbaik pada TKKS dengan menggunakan Trichoderma reesei dan
melakukan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae, dimana
masing-masing menghasilkan konsentrasi gula pereduksi dan alkohol paling
tinggi. TKKS yang digunakan selama proses sakarifikasi terlebih dulu diberi
perlakuan awal yakni dengan pemanasan di suhu 1210C, dengan tekanan
1,5 atmosfir selama 90 menit. Sakarifikasi menggunakan metode fermentasi padat,
yakni dengan menginokulasikan suspensi spora T.reesei sebanyak 10% v/b
(3,5-7,4`x108 sel/mL) ke dalam TKKS yang telah ditambahkan medium basal Mandels
& Waber dan akuades dengan perbandingan 3:4, sehingga kelembaban mencapai
70 %. Sakarifikasi dilakukan selama 8 hari. Parameter yang diamati setiap 48
jam adalah kadar gula pereduksi, aktivitas enzim CMCase (endoglukanase), enzim
beta-glukosidase dan pH medium. Optimasi suhu sakarifikasi yang dilakukan
adalah pada suhu 2500C, 300 0C dan 350 0C.
Suhu sakarifikasi terbaik diperoleh pada 300 0C, dengan kadar gula
pereduksi paling tinggi 1,46 mg/g substrat yang diperoleh pada hari ke-8.
Selanjutnya suhu tersebut digunakan untuk penentuan pH awal terbaik
sakarifikasi yaitu dengan nilai pH 4,5 ; 5; 5,5 ; dan 6. Konsentrasi gula
pereduksi paling tinggi diperoleh pada pH awal medium 5,5 yakni sebesar 1,5
mg/g substrat pada hari ke-8. Sakarifikasi ulang dilakukan dengan menggunakan
suhu dan pH awal terbaik selama 12 hari. Filtrat gula hasil sakarifikasi hari
ke-12 digunakan sebagai substrat fermentasi alkohol. Inokulum fermentasi yang
digunakan adalah Saccharomyces cereviseae sebanyak 5% v/b (5,35 x 108
sel/mL) sel diinokulasikan ke dalam medium dan difermentasi secara anaerobik
selama 96 jam.
Parameter yang diamati adalah kadar gula pereduksi, kadar
etanol, jumlah sel serta pH medium. Konsentrasi etanol paling tinggi yang
dihasilkan pada fermentasi selama 72 jam sebesar 0,046 % dengan konversi gula
menjadi etanol sebesar 47,32%. Kandungan selulosa TKKS sekitar 45,80% dan
hemiselulosa 26,00%. Jika berdasarkan perhitungan minimal menurut Badger (2002)
maka potensi bioetanol dari TKKS adalah sebesar 2.000 juta liter atau
menghasilkan panas setara dengan menggunakan 1446.984 liter bensin (Anonim,
2008a). Produksi bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan
karena berdasarkan evaluasi finansial dapat diperoleh tingkat keuntungan
sebesar 75 % ( Anonim, 2008a ).
B.
Komponen Kimia Bahan Lignoselulosa
Bahan
berselulosa yang terdapat di alam umumnya mengandung selulosa, hemiselulosa,
dan lignin.
1.
Selulosa
Selulosa
merupakan konstituen utama kayu sekitar 40-45% bahan kering kayu baik pada kayu
berdaun jarum maupun lebar. Di dalam dinding sel kayu, selulosa berfungsi untuk
memberikan kekuatan. Selulosa merupakan bahan kimia organik yang memiliki berat
molekul tinggi dan merupakan homopolimer rantai panjang dengan monomer glukosa
yang saling berikatan dengan ikatan b-1,4
glikosida (Janes, 1969). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar
2. Struktur selulosa (Janes, 1969)
Serat
selulosa terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya.
Susunan dinding sel terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P), serta
dinding sekunder yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel dan
terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2), dan dinding
sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 3). Dibandingkan dengan dinding primer,
dinding sekunder lebih tebal dan mengandung mayoritas selulosa (Judoamidjojo et
al. 1989).
Gambar
3. Susunan dinding sel (Tsao et al didalam Judoamidjojo et al.
1989)
Menurut
Judoamidjojo et al. (1989), secara alamiah molekul selulosa tersusun
dari fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang dihubungkan
dengan ikatan hidrogen. Pada kayu, fibril-fibril membentuk struktur kristal
yang dibungkus oleh lignin. Lignin berperan sebagai pelindung selulosa dari
serangan enzim pemecah selulosa.
Kumpulan
fibril disebut mikrofibril, sedangkan kumpulan mikrofibril membentuk
makrofibril. Bagian mikrofibril yang mengandung banyak ikatan hidrogen bersifat
sangat kuat, tidak dapat ditembus oleh air dan disebut bagian kristalin. Bagian
mikrofibril yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung ikatan hidrogen
disebut bagian amorf (Tsao et al. 1978). Berdasarkan kelarutannya,
selulosa dapat dibedakan menjadi selulosa a,
b, dan g. Selulosa a tidak
larut dalam larutan natrium hidroksida pekat, selulosa b larut dalam medium alkali tetapi tahan terhadap
larutan netral, sedangkan selulosa g mudah
larut walaupun dalam larutan netral (Fengel dan Wegener, 1989).
2. Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polisakarida yang
berikatan dengan selulosa pada bagian tanaman yang telah mengalami
delignifikasi. Hemiselulosa terutama terdapat pada bagian lamela tengah dari
dinding sel tanaman (Gong dan Tsao, 1981). Hemiselulosa merupakan heteropolimer
bercabang dari glukosa, xylosa, galaktosa, dan arabinosa (Cowling didalam Gaden
et al. 1976). Rantai urutan hemiselulosa hanya terdiri dari satu macam
monomer (homopolimer), misalnya xylan dan dapat juga dua atau lebih monomer,
misalnya glukomanan (Fengel dan Wegener, 1989). Struktur hemiselulosa dapat
dilihat pada Gambar 4.
3.
Lignin
Lignin merupakan fraksi non karbohidrat
yang bersifat kompleks dan sulit dikarakterisasi. Pada dasarnya lignin
merupakan polimer aromatik heterogen dengan sistem jaringan yang bercabang
serta tidak memiliki bentuk yang tetap (Mc Donald dan Franklin, 1969). Lignin
tersusun dari molekul-molekul yang memiliki bobot molekul yang tinggi dengan
unit dasar fenilpropana yang dihubungkan dengan ikatan-ikatan karbon (C-C) dan
eter (C-O-C) yang relatif stabil (Casey, 1980).
Polimer lignin tidak dapat dikonversi ke
monomernya tanpa mengalami perubahan pada bentuk dasarnya (Casey, 1980). Lignin
yang melindungi selulosa, bersifat tahan terhadap hidrolisa disebabkan oleh
adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. Pada suhu tinggi, lignin dapat
mengalami perubahan struktur dengan membentuk asam format, metanol, asam
asetat, aseton, vormil dan lain-lain. Sedangkan bagian lainnya mengalami
kondensasi (Judoamidjojo, 1989).
BAB
III
I.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Coklat
gelap, massa lengket menempel di dinding EP, meskipun percobaan pirolisis
dilakukan dengan menggunakan 1 kg / jam rig. Jumlah coklat gelap, massa lengket
di dinding EP dan cairan dikumpulkan dalam tangki sekitar 22,8% dan 74%,
masing-masing, dari jumlah cairan pirolisis dihasilkan dari percobaan
pirolisis. Oleh karena itu, di masa depan, sebuah sistem yang mampu
mengumpulkan cairan dalam satu titik pengumpulan tunggal dianjurkan, dengan
menerapkan sistem pembilasan di EP untuk tujuan menganalisis kualitas cair
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Produk cair dikumpulkan dalam tangki
dianalisis untuk sifat sebagai bahan bakar potensial dibandingkan dengan bahan
bakar minyak atau aplikasi lainnya. Namun, hanya beberapa analisis dilakukan
untuk massa organik yang menempel di dinding EP, seperti itu sangat kental.
A.
Sifat
Feedstock
Sifat utama dari TKS,
keduanya diukur dalam penelitian ini dan dari literatur, diberikan dalam Tabel
2. Abu tinggi dan nilai-nilai kalium yang penting karena abu, dan kalium pada
khususnya, menyebabkan berkurangnya hasil-hasil cairan dengan cepat pyrolysis.5
karbon dan kandungan hidrogen sebanding dengan biomassa kayu, seperti nilai
kalor diukur. HHV terendah di literature20 bisa disebabkan kebingungan antara
nilai-nilai dikutip dari basis kering sebagai lawan basis basah, masalah terjadi
di bagian lain dalam literatur. Misalnya, nilai 10 MJ / kg dikutip dalam hal
kelapa sawit kering, 21 yang jelas terlalu rendah untuk biomassa ligno-selulosa
dari basis kering, atau nilai-nilai untuk TBS basah digunakan untuk TBS kering.
Table
2: Properties of EFB (mf wt%).
Component
/ Property
|
Literature
values
|
References
|
Measured
|
Method
|
Cellulose
|
59.7
|
[24]
|
na
|
na
|
Hemicellulose
|
22.1
|
[24]
|
na
|
na
|
Lignin
|
18.1
|
[24]
|
na
|
na
|
Elemental
analysis
|
||||
Carbon
|
48.9
|
[25]
|
49.07
|
Combustion
analysis
|
Hydrogen
|
6.3
|
[26]
|
6.48
|
|
Nitrogen
|
0.7
|
[26]
|
0.7
|
|
Sulphur
|
0.2
|
[26]
|
<0.10
|
|
Oxygen
|
36.7
|
[26]
|
38.29
|
By
difference
|
K
|
2.24
|
[27]
|
2.00
|
Spectrometry
|
K2O
|
3.08–3.65
|
[28]
|
na
|
na
|
Proximate
analysis
|
||||
Moisture
|
na
|
na
|
7.95
|
ASTM
E871
|
Volatiles
|
75.7
|
[25]
|
83.86
|
ASTM
E872
|
Ash
|
4.3
|
[20]
|
5.36
|
NREL
LAP005
|
Fixed
carbon
|
17
|
[26]
|
10.78
|
By
difference
|
HHV
(MJ/kg)
|
19.0
|
[25]
|
19.35
|
Bomb
calorimeter
|
LHV
(MJ/kg)
|
17.2
|
[27]
|
na
|
na
|
Distribusi
ukuran partikel pakan setelah penggilingan ditunjukkan pada Gambar 3. Kadar abu
masing-masing fraksi ukuran ditentukan dengan menggunakan National Renewable
Energy Laboratory (NREL) Standar Metode Analytical LAP005, 23 dan rata-rata
massa fraksi ukuran 5,39% membandingkan baik, dalam keakuratan pengukuran,
dengan sampel asli dikirim oleh MPOB, yang memiliki kadar abu 5,36%.
\
1.
Struktur
permukaan
dan
analisis
EDX
Kami
menemukan bahwa permukaan
bahan baku
dicuci
bersih,
dan tidak ada
kotoran atau
hal
tertentu
di permukaan.
Namun,
bahan baku
dicuci
ukuran mulai
355-500
m
tidak dapat
dengan mudah
dimasukkan ke
feeder
karena partikel
cenderung
menempel satu sama lain
dengan mudah,
sehingga membuat
proses
makan
untuk 150
g/jam
reaktor sulit.
Tabel
3 menunjukkan hasil
analisis unsur
bahan baku
dicuci
dan
bahan baku
dicuci
selama rentang
kadar abu
dan
lindi,
menggunakan
Electron
dispersif
X-ray
Spektroskopi
(EDX).
Hal ini menunjukkan
bahwa hidrogen
tidak dapat dideteksi
dengan metode ini.
Unsur-unsur seperti
Al,
P,
Cl,
Ti,
Fe
dan
Cu
telah dihapus
selama
pencucian.
Namun, hanya
Na,
S dan
K
menurun
dengan
pengurangan
kadar abu
bahan baku.
Perlakuan
agitasi
pengguna
pada bahan baku
yang besar
pada suhu kamar
selama 1 menit
dan perendaman
bahan baku
yang besar
pada suhu kamar
selama 10
menit
disebut
sebagai metode
1
dan
metode 2,
masing-masing.
Kami menemukan bahwa
metode 2
lebih efektif daripada
metode 1
dalam menghilangkan
kalium, natrium
dan belerang.
Perlakuan
mengaduk
bahan baku
yang besar
pada 90 °C
selama 2 jam,
disebut sebagai
metode
4,
lebih efektif
dalam menghilangkan
kalium, natrium
dan belerang
oleh
70,4%,
100%
dan 87,9%,
masing-masing.
Namun,
perendaman
bahan baku
yang besar
pada suhu kamar
selama 20 menit,
disebut
sebagai metode
3,
juga
efektif menghilangkan
kalium, natrium
dan belerang
sebesar 67,2%,
100%
dan 37,9%,
masing-masing.
Perlakuan
perendaman
bahan baku
yang besar
pada suhu kamar
selama 1 menit
mengacu pada
metode
5.
Lindi
adalah
air
dicuci
yang dikumpulkan
setelah perawatan
cuci.
Analisis
EDX
pada
lindi
metode
5
menunjukkan
bahwa ia memiliki
kandungan kalium
tinggi sekitar
82,53%
berat, yang diharapkan
karena kandungan
abu
lindi
itu bahkan
lebih tinggi.
Diharapkan bahwa
lindi
mengandung
inorganics
larut,
seperti tanah
dan organik
larut.
Tabel
3:
Komposisi
Elemental
dari
kotor
dan
dicuci
bahan baku
Element
|
Unwashed EFB
|
Method 1
|
Method 2
|
Method 3
|
Method 4
|
Method 5
(leachate)
|
(wt%)
|
||||||
C
|
64.3
|
65.8
|
69
|
73.4
|
72.4
|
0.03
|
O
|
19.8
|
20.2
|
18.9
|
17.8
|
19.0
|
3.79
|
Na
|
0.33
|
0.41
|
0
|
0
|
0
|
0.63
|
Mg
|
0.19
|
0.25
|
0.29
|
0.35
|
0
|
1.68
|
Al
|
0.16
|
0.1
|
0.51
|
0.03
|
0
|
0
|
Si
|
1.95
|
1.87
|
1.34
|
2
|
1.72
|
0.1
|
P
|
1.06
|
0.43
|
0.8
|
1.39
|
1.71
|
5.39
|
S
|
0.48
|
0.55
|
0.39
|
0.36
|
0.07
|
1.54
|
Cl
|
1.37
|
0.37
|
0.5
|
0.19
|
0.36
|
3.48
|
Table 3: (continued)
Element
|
Unwashed EFB
|
Method 1
|
Method 2
|
Method 3
|
Method 4
|
Method 5
(leachate)
|
(wt%)
|
||||||
K
|
8.61
|
9.1
|
7.68
|
2.82
|
2.55
|
82.5
|
Ca
|
1.43
|
1.47
|
1.76
|
1.56
|
1.53
|
1.06
|
Ti
|
0.13
|
0
|
0.06
|
0
|
0.29
|
0.03
|
Cr
|
0.15
|
0.25
|
0
|
0.55
|
0
|
0
|
Mn
|
0
|
0
|
0.06
|
0
|
0.05
|
0.02
|
Fe
|
0.29
|
0
|
0.48
|
0.08
|
0
|
0
|
Ni
|
0
|
0.26
|
0
|
0
|
0.59
|
0
|
Cu
|
0.31
|
0
|
0.28
|
0
|
0.23
|
0.04
|
Zn
|
0.12
|
0
|
0
|
0
|
0.66
|
0.06
|
Ash content (mf wt%)
|
5.43
|
3.68
|
3.05
|
2.14
|
1.15
|
34.1
|
2.
Analisis Termogravimetri TKS kotor dan dicuci TKS
Karakteristik degradasi termal dari kotor dan dicuci bahan baku yang ditampilkan pada Gambar 4 dan Gambar 5 oleh termogravimetri (TG) dan kurva termogravimetri diferensial (DTG), masing-masing. Prosedur cuci digunakan untuk sampel dicuci memberikan kadar abu 1,15 mf% berat setelah dua jam pengadukan 100 g TKS dalam 7 liter air suling pada suhu 90 ° C. Kadar abu dari sampel dicuci adalah 5.43 mf% berat. Perilaku termal dari dua sampel secara substansial berbeda. kotor sampel menunjukkan puncak kecil DTG sekitar 200 ° C, yang mungkin menunjukkan extractives.29 ada puncak tersebut jelas untuk sampel dicuci. Sebuah penjelasan yang mungkin adalah bahwa suhu mencuci tinggi bisa menyebabkan hilangnya ekstraktif saat mencuci.
Gambar
4:
analisis Termogravimetri dicuci dan kotor TKS.
Gambar
5: analisis termogravimetri Diferensial dicuci dan
kotor TKS.
sampel
kotor menunjukkan puncak tunggal pada 355 °C, dan sampel dicuci memiliki
penurunan berat badan terbesar tersebut pada 383 °C. Selain
itu, ada punuk di sekitar 320 °C untuk
sampel dicuci, yang tidak terlihat dalam kurva DTG
dari sampel dicuci. Tren serupa telah dilaporkan oleh penulis lain untuk abu rendah dan tinggi abu
bahan baku biomassa. Secara umum
diasumsikan bahwa pergeseran suhu
karena efek katalitik abu dan bahwa pergeseran
ini mengarah ke puncak DTG tunggal untuk kedua selulosa dan hemiselulosa untuk biomassa abu
tinggi. Namun, punuk
jelas dalam kurva DTG untuk biomassa abu
yang rendah merupakan indikasi hemiselulosa
dan puncak yang sebenarnya adalah karena dekomposisi selulosa.
Total
penurunan berat badan antara 100-450 °C adalah 77,4%
untuk sampel dicuci dan hanya 65,8% untuk
sampel dicuci. Ada dua penjelasan.
Pertama, abu itu
sendiri sebagian besar tidak akan
volatilise dan karena itu berkontribusi terhadap hasil arang. Kedua, abu juga
diyakini berkontribusi untuk produksi arang yang lebih besar melalui aktivitas katalitik.
Sejumlah
sampel dicuci lain
dengan kandungan abu menengah
telah mengalami analisis TGA. Kurva yang
dihasilkan bervariasi lancar
antara dua ekstrem seperti disajikan
pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Total penurunan berat badan antara 100-450 °
C dan suhu penurunan
berat badan maksimal tercantum
dalam Gambar 6.
Figure 6: Weight loss
in TGA between the temperatures of 100–450C.
B.
Sifat Produk Cair
Tabel 4 menunjukkan karakteristik cairan pirolisis dari pekerjaan ini dibandingkan dengan pirolisis cairan yang berasal dari zaitun ampas tebu dan bahan bakar minyak bumi. HHV dihitung dari data analisis unsur menggunakan Channiwala dan rumus Parikh seperti yang ditunjukkan di bawah ini:
HHV = 0.3491C + + 1.1783H 0.1005S - 0.1034O - 0.0151N - 0.0211A (3)
Dimana
HHV
singkatan
nilai kalor
yang tinggi
dari basis kering
dan unit
MJ
/
kg.
Sebagian besar karakteristik cairan pirolisis dalam Tabel 4, dan hasil analisis produk
cair dibahas dalam mengikuti subtopik.
Tabel 4: Perbandingan karakteristik cairan pirolisis dan bahan bakar minyak bumi
Type
of liquids
|
Pyrolysis
liquid collected in EP’s wall
|
Pyrolysis
liquid collected in tank
|
Pyrolysis
liquid of olive bagasse
|
Petroleum
fuel
|
Reference
|
this
work
|
this
work
|
[33]
|
[34]
|
Water
content,
mf
wt%
|
6.66
|
21.68
|
–
|
0.1
|
Elemental
analysis (mf wt%)
|
||||
C
|
56.47
|
41.86
|
66.9
|
85.2
|
H
|
7.85
|
7.82
|
9.2
|
11.1
|
O
|
35.46
|
33.94
|
21.9
|
1.0
|
N
|
0.22
|
0.1
|
2.0
|
0.3
|
Table 4: (continued)
Type of liquids
|
Pyrolysis
liquid collected in EP’s wall
|
Pyrolysis
liquid collected in tank
|
Pyrolysis
liquid of olive bagasse
|
Petroleum
fuel
|
Reference
|
this
work
|
this
work
|
[33]
|
[34]
|
S
|
0
|
0
|
0
|
2.3
|
HHV,
MJ/kg
(Channiwala
and Parikh’s formula)
|
25.29
|
20.32
|
31.9
|
42.94
|
Density,
kg/m3
|
1548
|
1206
|
1070
|
940
|
Viscosity,
cP@25°C
|
not
determined
|
46.31
|
51
|
180
|
pH
|
2.33
|
2.7
|
–
|
–
|
GPC
analysis (g/mol)
|
||||
Mp
|
447
|
222
|
–
|
–
|
Mn
|
382
|
357
|
–
|
–
|
Mw
|
562
|
564
|
–
|
–
|
Polydispersity
|
1.47
|
1.57
|
–
|
1.
Nilai
pH
Semua
cairan
yang dihasilkan dari
bahan baku
dicuci
dan
bahan baku
dicuci
memberikan
pH
antara 2 dan
3,
yang menunjukkan
kadar asam
tinggi
yang muncul dari
asam organik,
seperti asam
asetat dan
format.
Hal ini menunjukkan
bahwa mengobati
bahan baku
dengan mencuci
air
tidak
meningkatkan nilai
pH
cairan.
Selain itu,
baja ringan
tidak cocok untuk
penanganan atau
penyimpanan karena
bisa
memiliki reaksi
dengan cairan
pirolisis.
Pipa
polypropylene,
misalnya,
telah digunakan
untuk mengatasi masalah ini.
2.
Densitas
Seperti
yang diharapkan, kepadatan
cairan
terjebak
di dinding
EP
yang
lebih kental
dan
memiliki kepadatan
yang lebih tinggi
dari densitas
cairan
dikumpulkan dalam
tangki.
Kepadatan
cairan
dikumpulkan dalam
tangki dan
pada dinding
EP
adalah
1206,1
kg/m3
dan
1548
kg/m3,
masing-masing.
Kepadatan
minyak
dan cairan
pirolisis
khas
940
kg/m3
dan
1230
kg/m3,
respectively.
Densitas cairan
Pirolisis
lebih tinggi
dibandingkan dengan
kepadatan
minyak bumi,
yang berarti bahwa
cairan
memiliki sekitar
42%
dari kandungan energi
bahan bakar
minyak
berdasarkan berat,
tapi 61%
secara
volumetrik.
3.
Nilai Pemanasan
Biasanya,
cairan pirolisis memiliki nilai pemanasan sekitar 40-50% bahan bakar minyak bumi konvensional. HHV dari cairan terkumpul
di dalam tangki dan pada dinding EP memiliki nilai rata-rata
21.49 MJ /
kg, yaitu sekitar 50% dari bahan bakar
minyak bumi konvensional.
4.
Konten Char
Char
adalah bubuk
kasar dengan
ukuran partikel berkisar dari
kurang dari satu mikron
ke beberapa
milimeter,
yang
memiliki
ukuran yang sama
dan karakteristik
bentuk sebagai
bahan baku.
Secara keseluruhan,
isi
char
semua cairan
dari
bahan baku
dicuci
dan
dicuci
adalah
di kisaran
0,2-2,0%.
Menurut
Peiyan,
sangat kecil
ukuran partikel
char
lebih mudah
tertiup angin ke
sistem pengumpulan.
Oleh karena itu,
suhu yang lebih tinggi
memberikan
minyak yang tinggi
arang
isinya.
5. Viskositas
Karena
cairan terjebak di dinding EP itu terlalu kental, viskositas diukur pada cairan
dikumpulkan dalam tangki saja. Viskositas dari cairan segar dan cair berusia 25
° C adalah 46,31 cp dan 67,58 cp, masing-masing. Cairan segar cairan diuji
setelah 24 jam dari yang diproduksi dan cair tua adalah cairan yang disimpan
selama 24 jam pada 80 ° C. Kita diharapkan bahwa viskositas pada seluruh cairan
run ini akan lebih tinggi dari 46,31 cp jika viskositas cairan terjebak di
dinding EP ini diperhitungkan. Seperti terlihat pada Tabel 4, viskositas minyak
bumi dan cair pirolisis ampas tebu zaitun pada 25 º C adalah 180 cP dan 51 cP,
masing-masing. Oleh karena itu, hasil ini menunjukkan bahwa kepadatan minyak
bumi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan viskositas pirolisis cairan yang
berasal dari ampas tebu zaitun atau cair pirolisis dari penelitian ini.
6. Stabilitas
Stabilitas
cairan pirolisis diperiksa
dengan memantau perubahan viskositas,
densitas dan pH. Kepadatan
dan pH cairan pirolisis tetap konstan
tetapi viskositas berubah dengan
waktu. Stabilitas minyak diukur dengan menghitung indeks viskositas menggunakan
Persamaan 2. Aston Viscosity Index (AVI) nomor
untuk pirolisis cairan yang
dihasilkan dari proses pirolisis
pada biomassa kayu pada 500 ° C adalah
sekitar 2,2. AVI untuk
cairan dalam penelitian ini adalah
0,46. Dengan demikian, cairan ini cukup stabil
karena jumlah AVI rendah. Menurut Salter,
kandungan lignin dari
cairan pirolisis sangat
mempengaruhi stabilitas cairan
karena semakin banyak lignin dalam cairan pirolisis, yang lebih stabil cairan
tersebut, maka, AVI rendah.
7. Kelompok Fungsional
Pirolisis cair dianalisis
menggunakan spektroskopi FTIR untuk mendapatkan kesan kualitatif dari kelompok
fungsional dasar hadir dalam minyak. Diukur penyerapan spektrum frekuensi dapat
dilihat pada Tabel 5. CH tikungan getaran antara 1500 dan 1450 cm-1 menunjukkan
adanya alkana. Penyerapan puncak antara 1750 dan 1625 cm-1 merupakan C = O
getaran peregangan dan sugestif kehadiran asam karboksilat, keton dan aldehida.
Puncak serapan antara 1675 dan 1600 cm-1 merupakan C = C peregangan getaran.
Puncak antara 1300 dan 1000 cm-1 adalah karena adanya fenol dan alkohol, dan
puncak penyerapan antara 900 dan 650 cm-1 menunjukkan adanya tunggal,
polisiklik aromatik tersubstitusi atau kelompok
Tabel
5: FTIR
komposisi kelompok
fungsional
cair
pirolisis.
Frequency
range (cm–1)
|
Group
|
Class
of compound
|
3000
– 2800
|
C-H
stretching
|
alkanes
|
1750
– 1625
|
C=O
stretching
|
aldehydes,
carboxylic acids, ketones
|
1675
– 1600
|
C=C
stretching
|
alkenes
|
1500
– 1450
|
C-H
bending
|
alkanes
|
1300
– 1000
|
C-O
stretching
|
alcohol
|
900
– 650
|
O-H
bending
|
phenol
aromatic compounds
|
8.
Kadar
Lignin
Pirolitik
Lignin
merupakan
salah satu komponen
utama
kayu,
dan lignin
pirolitik
merupakan
air
bagian
larut
dari
cairan
pirolisis.
Lignin
pirolitik
dapat diperoleh
dengan pengendapan
cair
pirolisis
di
kelebihan
air.
Dalam karya ini,
pirolisis
cair
dikumpulkan dalam tangki
berasal dari
TKS
dicuci
diendapkan.
Kandungan
lignin
pirolitik
dalam cairan
pirolisis
dikumpulkan dalam
tangki adalah
12,42%
b/b,
mirip dengan
hasil
lignin
pirolitik
dari bio-minyak
yang berasal
dari hard
wood. lignin
pirolitik memiliki nilai kalori yang relatif tinggi dan telah diusulkan sebagai pengganti formaldehida resin fenol.
Untuk aplikasi ini, itu harus dipisahkan dari sisa minyak-bio
dengan kondensasi diferensial dan
pengumpulan dan menyajikan pilihan hemat energi.
9.
Berat
Molekul
The
pirolitik
lignin
cairan
dikumpulkan dalam
tangki
dibuat dengan
pengendapan
cairan ini dalam
air,
dan
massa
molar
lignin
ditentukan menggunakan
GPC.
Kami menemukan bahwa
massa molar
rata-rata
(Mw),
jumlah rata-rata
molar
(Mn)
dan massa
molar
pada
puncak maksimum
(Mp)
dari
lignin
pirolitik
adalah
886
g
/
mol,
588
g
/
mol
dan 660
g
/
mol.
Hasil
massa
molar untuk
kedua fraksi
cair (fraksi
EP
dan fraksi
tangki)
disebutkan dalam
Tabel 4.
Berat molekul
merupakan indikator penting
dari tingkat
polimerisasi
dan
berat molekul
puncak
cairan
terkumpul
di dalam tangki
jauh lebih rendah
dibandingkan dengan
fraksi
lignin
pirolitik.
10.
Perbandingan Feedstock
Sebuah
perbandingan TKS
dengan hasil
dari literatur
untuk bahan baku
biomassa lainnya
disajikan pada Gambar
7
dan Tabel
6.
Hasil
produk untuk
TKS
dicuci
mirip dengan
yang dari
kayu
abu yang rendah,
seperti
poplar,
sedangkan
yield
produk untuk
TKS
kotor
lebih dekat
dengan yang diperoleh
untuk
bahan baku
lebih tinggi
abu,
seperti jerami gandum.
Tabel 6: Perbandingan TKS dengan bahan baku biomassa lainnya.
Feedstock
|
Unwashed
EFB
|
Washed
EFB
|
Poplar
aspen
|
Corn
stover
|
Wheat
straw
|
Reference
|
this
work
|
this
work
|
[36]
|
[37]
|
[37]
|
Cellulose
[mf
wt%]
|
59.7
|
–
|
42.3
|
31.0
|
32.4
|
Hemicellulose
[mf wt%]
|
22.1
|
–
|
31.0
|
43.0
|
41.8
|
Lignin
[mf
wt%]
|
18.1
|
–
|
16.2
|
13.0
|
16.7
|
Moisture
[mf
wt%]
|
7.48–8.96
|
6.04–6.54
|
5.0
|
6.5
|
9.0
|
Ash
[mf wt%]
|
5.29
|
1.03
|
0.39
|
11.0
|
4.6
|
Yields
[mf wt%]
|
|||||
Char
|
24.52
|
10.76
|
11
|
42.2
|
22
|
Gas
|
22.31
|
14.70
|
14
|
13.7
|
19
|
Organics
|
34.71
|
61.34
|
58.9
|
27.3
|
37
|
Total
Liquids
|
49.8
|
72.36
|
74.1
|
43.1
|
54
|
Gambar
7:
Organik hasil sebagai
fungsi temperatur untuk sejumlah bahan baku.
11.
Sifat
Fisik dan Kimia
Produk
Cairan
pirolisis dihasilkan dipisahkan menjadi dua fase, fase didominasi oleh berlama-lama
senyawa organik dan fase cair. Saham relatif
dari total hasil produk cair
dari dua fase adalah
sekitar 60% untuk mantan dan 40% untuk yang kedua. Sebuah perbandingan sifat kunci untuk dua tahap dengan
orang-orang yang berasal dari
kayu bio-minyak,
bahan bakar minyak ringan dan bahan
bakar minyak berat diberikan
dalam Tabel 7, yang juga berisi
analisis akhir dari produk arang. Nilai untuk sulfur tidak ditentukan, karena ada sangat sedikit belerang di TKS itu
sendiri. Karena kadar air yang tinggi, nilai kalor yang lebih tinggi dari fase berair tidak diukur.
Viskositas
fase berair dekat
dengan air, sedangkan fase organik hampir
tidak mengalir sama sekali.
Pada suhu kamar, fase organik jelas memiliki viskositas di atas 10.000 cP, batas
untuk peralatan ukur yang tersedia
bagi para penulis karya ini.
Rumus
empiris dari organik dalam fase organik CH1.51O0.14.
Sebagai perbandingan, rumus empiris
untuk karbohidrat adalah CH2O, bahwa fenol
adalah CHO0.17 dan
lebih lama rantai alkana lurus mendekati formula
empiris CH2. Ada kemungkinan
bahwa fase organik mengandung sejumlah kecil minyak kelapa sawit,
sebagai organik dalam
fase organik memiliki hidrogen secara signifikan lebih tinggi
untuk rasio karbon dibandingkan adalah kasus untuk kayu yang berasal ter pirolisis
lambat.
Tabel
7: Karakteristik minyak
pirolisis dibandingkan dengan bahan bakar minyak bumi.
|
EFB
|
Wood
derived bio-oil
|
Light
fuel oil
|
Heavy
fuel oil
|
||
Organics
phase
|
Aqueous
phase
|
Char
|
||||
C
|
69.35
|
13.83
|
71.43
|
32–48
|
86.0
|
85.6
|
H
|
9.61
|
11.47
|
1.80
|
7–8.5
|
13.6
|
10.3
|
N
|
0.74
|
0.14
|
0.63
|
<0.4
|
0.2
|
0.6
|
O
|
20.02
|
74.56
|
8.72
|
44–60
|
0
|
0.6
|
S
|
–
|
–
|
–
|
<0.05
|
<0.18
|
2.5
|
Moisture
content
|
7.9
|
64.01
|
–
|
20–30
|
0.025
|
0.1
|
HHV
(MJ/kg)
|
36.06
|
–
|
–
|
–
|
–
|
–
|
LHV
(MJ/kg)
|
–
|
–
|
–
|
13–18
|
40.3
|
40.7
|
Fase
dipisahkan produk cair akan mewakili bakar menantang untuk boiler dan mesin,
karena viskositas tinggi dari fase organik dan kandungan air yang tinggi dari
fase berair. Hal ini bisa diatasi dengan upgrade. Penambahan pelarut polar
seperti metanol atau etanol merupakan salah satu rute termudah, 5 dan didirikan
oleh penulis studi ini bahwa dua fase kedua mudah larut dalam metanol untuk
menghasilkan satu produk-fase homogen dengan viskositas rendah. Beberapa
peneliti telah mempelajari
penambahan pelarut untuk mengurangi viskositas dan tingkat penuaan karena
perubahan bio-oil komposisi selama penuaan dan saling kelarutan perubahan
komponen untuk membuat pemisahan fasa lebih mungkin. Penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk
menetapkan berapa banyak metanol akan harus ditambahkan minimal
untuk mendapatkan cairan fase tunggal. Penambahan etanol juga dapat mengurangi korosi dan memungkinkan
penghapusan air melalui suhu
rendah distilasi vakum, yang
dinyatakan sulit karena ketidakstabilan
termal cairan pirolisis.
Upgrade
termokimia kemungkinan lain, baik melalui gasifikasi dan Fischer-Tropsch, mana
mungkin menguntungkan untuk mengubah
menjadi gas char bubur bio-minyak daripada
biomassa sendiri, atau melalui uap katalitik reforming
fase cair untuk memperoleh hidrogen untuk hidrogenasi
fasa organik.
Fase
organik mungkin juga langsung digunakan dalam mesin, turbin dan boiler, jika
Anda baru pertama pra-dipanaskan untuk mengurangi viskositas, meskipun
ketidakstabilan termal mungkin membatasi suhu dapat dibawa ke. Fase berair
berpotensi menjadi co-dipecat untuk mengurangi thermal NOx dan memungkinkan
pembakaran efisien bahan kering terlarut. Seperti disebutkan dalam pendahuluan,
itu juga mungkin untuk mendapatkan bahan-bahan kimia yang berguna, seperti
senyawa fenolik untuk pembuatan resin, sebagai komersial-produk.
Karena
hasil cair rendah, tidak semua char dan gas akan diperlukan untuk proses panas
internal. Beberapa dapat digunakan untuk mengeringkan TKS segar sangat basah.
Membakar char, yang berisi hampir semua mineral, akan memungkinkan pemulihan
dari abu, yang berguna sebagai fertiliser.21 gas ini tinggi karbon dioksida dan
memiliki nilai kalor yang lebih tinggi hanya sekitar 4 MJ / kg. Ini berpotensi
dimanfaatkan untuk penyerapan skema enhanced oil recovery karbon.
Karena
TKS segar sangat basah, mencuci TKS sebelum pirolisis cepat merupakan jalan
lain yang menarik untuk meningkatkan nilai dari produk bahan bakar yang
diperoleh, seperti pengeringan diperlukan sudah dan karena itu akan menambah
biaya ekstra. Perendaman sederhana dalam air pada suhu kamar dapat menghapus sebagian
besar abu, dengan kerugian biomassa kecil, memberikan bahan baku dengan
karakteristik hasil yang sama seperti biomassa kayu abu yang rendah.
BAB IV
I.
KESIMPULAN
Sebuah studi pirolisis cepat pada kotor dan dicuci Tandan Kosong (TKS) dilakukan dengan menggunakan g / jam reaktor unggun fluidised 150. Cairan yang dihasilkan dari kedua TKS kotor dan dicuci memiliki kandungan asam tinggi dan kepadatan cairan pirolisis khas, dengan Heating Value Tinggi (HHV) sekitar 50% dari bahan bakar minyak bumi konvensional. Char konten semua cairan dari bahan baku dicuci dan dicuci berada di kisaran 0,2-2,0% dari. Viskositas cairan memiliki nilai keseluruhan lebih tinggi dari 46,31 cp. Cairan itu rendah Aston Viscosity Index (AVI) dan karena itu dianggap stabil. Diukur penyerapan spektrum frekuensi ditunjukkan pada Tabel 5. Kandungan lignin pirolitik dalam cairan pirolisis dikumpulkan mirip dengan lignin pirolitik dihasilkan dari minyak nabati yang berasal dari kayu keras. Hasil massa molar untuk kedua cairan disajikan pada Tabel 4. Dengan bahan baku perbandingan, hasil produk untuk TKS dicuci adalah serupa dengan yang dari kayu abu yang rendah, sedangkan yield produk untuk TKS dicuci jauh lebih dekat dengan yang lebih tinggi bahan baku abu. Namun, cairan pirolisis yang dihasilkan dipisahkan menjadi dua fase, fase didominasi oleh berlama-lama senyawa organik (60%) dan fase berair (40%).
DAFTAR PUSTAKA
Sri Komarayati 1 & Gusmailina 1. Prospek Bioetanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah.10 Maret
2010.Bogor
Hajar Hadyan Hani Bt Zaini. Production of bioethanol from Empty fruit bunch (efb) of oil palm.
University College of Engineering & Technology Malaysia.2011
Nirwanto Honsono. Anlisis
Lifecycle Bioetanol Berbasisi Tandan Kosong Kelapa Sawit Di Indonesia.Januari
2012.Fakultas Teknik Program Studi teknologi Bioproses.Depok
Aidil Zamri Safril. Analisis Teknis Sudut Mata Pisau Terhadap Proses PencacahanTandan
Kosong Sawit.Oktober 2006.Staf pengajar Jurusan Mesin Politeknik Negeri
Padang
Enny Hawani Loebis.Optimasi Proses Hidrolisis Kimiawi Dan Enzimatis Tandan Kosong Kelapa
Sawit Menjadi Glukosa Untuk Produksi Etanol. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Agustus 2008. Bogor
Norhayati Binti Abu
Bakar.“A thesis submitted in
fulfillment of the requirements for the award of the degree of Bachelor of
Chemical Engineering”.Faculty of
Chemical & Natural Resources Engineering.University College of Engineering
& Technology Malaysia.november 2006
Genting
Group unveils Malaysia’s first commercially produced bio-oil using breakthrough
technology. (2005). Press release by Genting Group, 21st August.
Di
Blasi, C., Branca, C. & D’Errico, G. (2000). Degradation characteristics of
straw and washed straw. Thermochim. Acta, 364, 133–142.
Mullen,
C. A., Boateng, A. A., Goldberg, N. M., Lima, I. M., Laird, D. A. & Hicks,
K. B. (2010). Bio-oil and bio-char production from corn cobs and stover by fast
pyrolysis. Biomass Bioenergy, 34, 67–74.
Jenkins,
B. M., Bakker, R. R. & Wei, J. B. (1996). On the properties of washed
straw. Biomass Bioenergy, 10(4), 177–200.
Das,
P., Ganesh, A. & Wangikar, P. (2004). Influence of pretreatment for
deashing of sugarcane bagasse on pyrolysis products. Biomass Bioenergy,
27, 445–457.
Bridgwater,
A. V. & Peacocke, G. V. C. (1995). Biomass fast pyrolysis. Proceedings of
the Second Biomass Conference of the Americas. Energy Environment, Agriculture,
and Industry, NREL/cp-2008098, DE 95009230, NREL, Golden CO.
Diebold,
J. P. (2002). A review of the chemical and physical mechanisms of the storage
stability of fast pyrolysis bio-oils. In Fast pyrolysis of biomass: A
handbook, ed. Bridgwater, A. V. London: CPL Press.
Scott,
D. S., Paterson, L., Piskorz, J. & Radlein, D. (2000). Pretreatment of
poplar wood for fast pyrolysis: Rate of cation removal. J. Anal. Appl.
Pyrolysis, 57, 169–176.
Abdullah, N. (2005). An
assessment of pyrolysis for processing empty fruit bunches. PhD thesis, Aston
University, Birmingham, UK.