Proposal Bioethanol

Posted by DPC LI-BAPAN LAMPUNG UTARA 0 komentar

BAB I
PENDAHULUAN

I.                   Latar Belakang
Selama ini tandan kosong sawit (TKS) merupakan limbah buangan dari pabrik minyak sawit yang tersedia dalam jumlah banyak dan belum dimanfaatkan. Sementara itu laju perkembangan areal tanaman kelapa sawit di Indonesia meningkat dengan pesat pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 1997, di Indonesia terdapat tanaman kelapa sawit seluas 2.133.400 ha dimana tanaman yang telah dewasa akan menghasilkan limbah tandan kosong sawit sek 2,2 juta ton bobot kering dan diperkirakan pada tahun 2000 akan mencapai 2,8 juta ton bobot kering (Seminar Nasional MAPEKI, 1998). Sedangkan di Sumatera Barat ada beberapa perusahaan pengolah tandan buah segar (TBS) di antaranya PTP.VI dengan kapasitas 60 ton per jam, PT.Bakri PP dengan kapasitas 60 ton per jam sedangkan PT.Agrowiratama dengan kapasitas 30 ton per jam (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan, Propinsi Sumatera Barat, 2002) dan sekitar 20 – 25 % dari tandan buah segar (TBS) yang diolah oleh industri merupakan tandan kosong sawit ( TKS ). Jumlah tandan kosong sawit yang makin lama makin bertambah jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, sedangkan pemanfaatan limbah tandan kosong sawit ( TKS ) masih terbatas.
Limbah ini biasanya dibakar atau diangkut ke kebun untuk digunakan sebagai mulsa Pemanfaatan limbah kelapa sawit menjadi limbah yang memiliki nilai tambah perlu dilakukan, dimana tandan kosong sawit merupakan limbah padat pabrik minyak kelapa sawit. Sebagai limbah lignoselulosa serat yang terkandung pada tandan kosong sawit dapat diuraikan secara mekanis atau semi kimia. Proses semi kimia lebih sesuai untuk penyediaan serat yang harus segera digiling menjadi pulp kertas dengan kandungan lignin rendah. Sedangkan proses mekanis dapat digunakan untuk menghasilkan serat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh industri panel kayu, atau diolah menjadi kertas.







II.                Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan evaluasi teknis dan ekonomis terhadap mesin pencacah tandan kosong sawit. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.        Memanfaatkan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai bahan baku pembuatan bioethanol.
2.        Melakukan identifikasi struktur dan sifat fisik tandan kosong sawit.
3.        Menjadikan bioethanol sebagai bahan bakar ramah lingkungan.

III.             Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Memberikan alternatif penggunaan biethanol sebagai salah satu sumber energi alternatif sekaligus penanganan limbah berserat, yaitu Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).
2.      Dari kajian ini akan dihasilkan pengetahuan tentang gaya potong spesifik dan energi potong spesifik dari limbah tandan kosong sawit.
3.      Dari kajian akan dihasilkan pengetahuan tentang sudut mata pisau, parameter rekayasa, sudut potong, sudut geser, dan kondisi operasi optimum yang dapat dipergunakan untuk memotong tandan kosong sawit secara mekanis.








BAB II
ISI

I.         LANDASAN TEORI

A.            Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18%, dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil seperti minyak tanah (Anonim, 2007a). Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan, menyebabkan pihak pengguna akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya, namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit (Anonim, 2008 b). Di sektor kehutanan bioetanol dapat diproduksi dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah kayu.
Bahan bakar fosil seperi minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bahan bakar berbasis produk proses biologi seperti bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak dapat dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat (gula,pati,selulosa, dan hemiselulosa) dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pasokan bahan pangan sebaiknya bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak layak/tidak dapat dikonsumsi, seperti singkong gajah yang beracun, sampah atau limbah apapun yang mengandung karbohidrat, melalui proses sakarifikasi dan seterusnya (pemecahan gula seperti tersebut di atas), bahan-bahan tersebut dapat dikonversi pula menjadi bioetanol.
Produksi etanol Nasional pada tahun 2006 mencapai sekitar 200 juta liter. Kebutuhan etanol Nasional tersebut pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 900 juta liter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol diproduksi dari tetes tebu, singkong dan jagung. Alternatif lain bahan baku bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri etanol atau butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel, biomassa berselulosa juga dapat mendukung produksi komersial industri kimia seperti asam organik, aseton atau gliserol (Wymann, 2002).
Secara lebih spesifik bioetanol adalah cairan yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari penguraian sumber karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Bioetanol dapat juga diartikan sebagai bahan kimia yang memiliki ada sifat kesamaan dengan minyak premium, karena terdapatnya unsur – unsur seperti karbon (C) dan hidrogen (H). (Khairani, 2007). Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan ber sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete); bahan berpati (bahan yang mengandung pati) seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain–lain; dan bahan berserat selulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa dan lignin seperti kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain. Dari ketiga jenis bahan baku tersebut, terdapat bahan berlignoselulosa sebagai bahan yang jarang digunakan karena cukup sulit dilakukan penguraiannya menjadi bioetanol. Ini disebabkan adanya lignin yang merupakan senyawa polifenol sehingga lebih sukar diuraikan dan selanjutnya mempersulit pembentukkan glukosa dan jumlahnya sedikit (Khairani, 2007).

B.            Biogasoline (gasohol) dan Perkembangannya

Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bioetanol ) dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih baik dari premium dan setara dengan pertamax (Anonim, 2008). Bahan bakar ini jika dioperasikan pada mesin berbasis gasoline akan menghasilkan emisi karbonmonoksida (CO) dan senyawa lain hidrokarbon lebih sederhana hasil pembakaran (oksidasi) tidak sempurna pada tingkat lebih rendah dibandingkan dengan pengoperasian bahan bakar konvensional (gasoline). Ini disebabkan adanya etanol yang sudah mengandung oksigen (O2) sekitar 35% dapat meningkatkan efisiensi pembakaran/ oksidasi. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama Gasohol, telah dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan campuran 10% bioetanol (dari bahan baku jagung) dan 90% gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk campuran gasoline dibuat dari bahan baku tebu, dan digunakan dalam kadar 10%. Di Finlandia, biogasoline yang digunakan memiliki kadar bioetanol 5% dan memiliki angka oktan 98. Di Jepang, sejak tahun 2005 sudah mulai digunakan gasoline dengan campuran 3% bioetanol, dan diharapkan pada tahun 2012 seluruh gasoline yang dijual di Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun 2006 Thailand telah menjual gasohol 95, dan direncanakan pada tahun 2012 Thailand akan mengganti seluruh gasoline dengan biogasoline.

Tabel 1. Sumber, hasil panen dan rendemen alkohol sebagai hasil konversi
Sumber karbohidrat
Hasil panen ton/ha/th
Perolehan alkohol
liter/ton
liter/ha/th
Singkong
25 (23,6)
180 (155)
4500 (3658)
Tetes tebu
3,6
270
973
Sorgum biji
6
333,4
2000
Ubi jalar
62,5
125
7812
Sagu
6,8
608
4133
Tebu
75
67
5025
Nipah
27
93
2500
Sorgum manis
80
75
6000
Sumber: Anonim (2005); Nurdyastuti ( 2008) dan Assegaf ( 2009).

Bulan Agustus 2006, Perusahaan minyak negara (Pertamina) telah meluncurkan produk biopremium, namun masih terbatas di stasiun pengisian bahan bakar utama (SPBU) berlokasi di Jalan. Mayjen M. Wiyono, Malang. Biopremium yang dijual dibuat dari campuran Premium dengan 5% bioetanol. Bioetanol untuk campuran biopremium diproduksi oleh PT Molindo Raya Industrial (MRI) di Lawang menggunakan bahan baku tetes tebu. Sejak diluncurkan, respon masyarakat cukup baik, dengan meningkatnya omzet penjualan. Sedangkan di Jakarta, sejak Desember 2006 sudah dapat dilihat BioPertamax di beberapa SPBU, antara lain pada SPBU di jalan. Tentara Pelajar, Senayan (Jakarta Selatan). Pengembangan selanjutnya di wilayah Jawa Barat, di mana Pertamina meluncurkan biopremium di Bandung tahun 2007. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, direncanakan akan didirikan pabrik etanol berkapasitas 200 juta liter etanol per tahun oleh PT Mitra Sae Internasional di Kuningan bekerja sama dengan LBL Network Ltd.dari Korea Selatan dengan bahan dasar ubi kayu jenis Manihot esculanta trans.w (http://www.pertamina.com)

II.      POTENSI SUMBER BIOETANOL
A.           Tandan Kosong Kelapa Sawit
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah biomassa berserat selulosa yang memiliki potensi besar dengan kelimpahan cukup tinggi. TKKS merupakan hasil samping dari pengolahan minyak kelapa sawit yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai pupuk, bahan baku pembuatan matras, dan media bagi pertumbuhan jamur serta tanaman. Hasil penelitian Iriani (2009) dalam Muthuvelayudham dan Virethagiri (2007) bertujuan untuk mendapatkan kondisi sakarifikasi terbaik pada TKKS dengan menggunakan Trichoderma reesei dan melakukan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae, dimana masing-masing menghasilkan konsentrasi gula pereduksi dan alkohol paling tinggi. TKKS yang digunakan selama proses sakarifikasi terlebih dulu diberi perlakuan awal yakni dengan pemanasan di suhu 1210C, dengan tekanan 1,5 atmosfir selama 90 menit. Sakarifikasi menggunakan metode fermentasi padat, yakni dengan menginokulasikan suspensi spora T.reesei sebanyak 10% v/b (3,5-7,4`x108 sel/mL) ke dalam TKKS yang telah ditambahkan medium basal Mandels & Waber dan akuades dengan perbandingan 3:4, sehingga kelembaban mencapai 70 %. Sakarifikasi dilakukan selama 8 hari. Parameter yang diamati setiap 48 jam adalah kadar gula pereduksi, aktivitas enzim CMCase (endoglukanase), enzim beta-glukosidase dan pH medium. Optimasi suhu sakarifikasi yang dilakukan adalah pada suhu 2500C, 300 0C dan 350 0C. Suhu sakarifikasi terbaik diperoleh pada 300 0C, dengan kadar gula pereduksi paling tinggi 1,46 mg/g substrat yang diperoleh pada hari ke-8. Selanjutnya suhu tersebut digunakan untuk penentuan pH awal terbaik sakarifikasi yaitu dengan nilai pH 4,5 ; 5; 5,5 ; dan 6. Konsentrasi gula pereduksi paling tinggi diperoleh pada pH awal medium 5,5 yakni sebesar 1,5 mg/g substrat pada hari ke-8. Sakarifikasi ulang dilakukan dengan menggunakan suhu dan pH awal terbaik selama 12 hari. Filtrat gula hasil sakarifikasi hari ke-12 digunakan sebagai substrat fermentasi alkohol. Inokulum fermentasi yang digunakan adalah Saccharomyces cereviseae sebanyak 5% v/b (5,35 x 108 sel/mL) sel diinokulasikan ke dalam medium dan difermentasi secara anaerobik selama 96 jam.
Parameter yang diamati adalah kadar gula pereduksi, kadar etanol, jumlah sel serta pH medium. Konsentrasi etanol paling tinggi yang dihasilkan pada fermentasi selama 72 jam sebesar 0,046 % dengan konversi gula menjadi etanol sebesar 47,32%. Kandungan selulosa TKKS sekitar 45,80% dan hemiselulosa 26,00%. Jika berdasarkan perhitungan minimal menurut Badger (2002) maka potensi bioetanol dari TKKS adalah sebesar 2.000 juta liter atau menghasilkan panas setara dengan menggunakan 1446.984 liter bensin (Anonim, 2008a). Produksi bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan karena berdasarkan evaluasi finansial dapat diperoleh tingkat keuntungan sebesar 75 % ( Anonim, 2008a ).

B.            Komponen Kimia Bahan Lignoselulosa
Bahan berselulosa yang terdapat di alam umumnya mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
1.         Selulosa
Selulosa merupakan konstituen utama kayu sekitar 40-45% bahan kering kayu baik pada kayu berdaun jarum maupun lebar. Di dalam dinding sel kayu, selulosa berfungsi untuk memberikan kekuatan. Selulosa merupakan bahan kimia organik yang memiliki berat molekul tinggi dan merupakan homopolimer rantai panjang dengan monomer glukosa yang saling berikatan dengan ikatan b-1,4 glikosida (Janes, 1969). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur selulosa (Janes, 1969)
Serat selulosa terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Susunan dinding sel terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P), serta dinding sekunder yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel dan terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2), dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 3). Dibandingkan dengan dinding primer, dinding sekunder lebih tebal dan mengandung mayoritas selulosa (Judoamidjojo et al. 1989).
Gambar 3. Susunan dinding sel (Tsao et al didalam Judoamidjojo et al. 1989)

Menurut Judoamidjojo et al. (1989), secara alamiah molekul selulosa tersusun dari fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Pada kayu, fibril-fibril membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin. Lignin berperan sebagai pelindung selulosa dari serangan enzim pemecah selulosa.
Kumpulan fibril disebut mikrofibril, sedangkan kumpulan mikrofibril membentuk makrofibril. Bagian mikrofibril yang mengandung banyak ikatan hidrogen bersifat sangat kuat, tidak dapat ditembus oleh air dan disebut bagian kristalin. Bagian mikrofibril yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung ikatan hidrogen disebut bagian amorf (Tsao et al. 1978). Berdasarkan kelarutannya, selulosa dapat dibedakan menjadi selulosa a, b, dan g. Selulosa a tidak larut dalam larutan natrium hidroksida pekat, selulosa b larut dalam medium alkali tetapi tahan terhadap larutan netral, sedangkan selulosa g mudah larut walaupun dalam larutan netral (Fengel dan Wegener, 1989).
   
            2.      Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polisakarida yang berikatan dengan selulosa pada bagian tanaman yang telah mengalami delignifikasi. Hemiselulosa terutama terdapat pada bagian lamela tengah dari dinding sel tanaman (Gong dan Tsao, 1981). Hemiselulosa merupakan heteropolimer bercabang dari glukosa, xylosa, galaktosa, dan arabinosa (Cowling didalam Gaden et al. 1976). Rantai urutan hemiselulosa hanya terdiri dari satu macam monomer (homopolimer), misalnya xylan dan dapat juga dua atau lebih monomer, misalnya glukomanan (Fengel dan Wegener, 1989). Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 4.
                 

             3.      Lignin
Lignin merupakan fraksi non karbohidrat yang bersifat kompleks dan sulit dikarakterisasi. Pada dasarnya lignin merupakan polimer aromatik heterogen dengan sistem jaringan yang bercabang serta tidak memiliki bentuk yang tetap (Mc Donald dan Franklin, 1969). Lignin tersusun dari molekul-molekul yang memiliki bobot molekul yang tinggi dengan unit dasar fenilpropana yang dihubungkan dengan ikatan-ikatan karbon (C-C) dan eter (C-O-C) yang relatif stabil (Casey, 1980).
Polimer lignin tidak dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami perubahan pada bentuk dasarnya (Casey, 1980). Lignin yang melindungi selulosa, bersifat tahan terhadap hidrolisa disebabkan oleh adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. Pada suhu tinggi, lignin dapat mengalami perubahan struktur dengan membentuk asam format, metanol, asam asetat, aseton, vormil dan lain-lain. Sedangkan bagian lainnya mengalami kondensasi (Judoamidjojo, 1989).



BAB III
I.          HASIL DAN PEMBAHASAN

Coklat gelap, massa lengket menempel di dinding EP, meskipun percobaan pirolisis dilakukan dengan menggunakan 1 kg / jam rig. Jumlah coklat gelap, massa lengket di dinding EP dan cairan dikumpulkan dalam tangki sekitar 22,8% dan 74%, masing-masing, dari jumlah cairan pirolisis dihasilkan dari percobaan pirolisis. Oleh karena itu, di masa depan, sebuah sistem yang mampu mengumpulkan cairan dalam satu titik pengumpulan tunggal dianjurkan, dengan menerapkan sistem pembilasan di EP untuk tujuan menganalisis kualitas cair seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Produk cair dikumpulkan dalam tangki dianalisis untuk sifat sebagai bahan bakar potensial dibandingkan dengan bahan bakar minyak atau aplikasi lainnya. Namun, hanya beberapa analisis dilakukan untuk massa organik yang menempel di dinding EP, seperti itu sangat kental.

A.    Sifat Feedstock
Sifat utama dari TKS, keduanya diukur dalam penelitian ini dan dari literatur, diberikan dalam Tabel 2. Abu tinggi dan nilai-nilai kalium yang penting karena abu, dan kalium pada khususnya, menyebabkan berkurangnya hasil-hasil cairan dengan cepat pyrolysis.5 karbon dan kandungan hidrogen sebanding dengan biomassa kayu, seperti nilai kalor diukur. HHV terendah di literature20 bisa disebabkan kebingungan antara nilai-nilai dikutip dari basis kering sebagai lawan basis basah, masalah terjadi di bagian lain dalam literatur. Misalnya, nilai 10 MJ / kg dikutip dalam hal kelapa sawit kering, 21 yang jelas terlalu rendah untuk biomassa ligno-selulosa dari basis kering, atau nilai-nilai untuk TBS basah digunakan untuk TBS kering.






Table 2: Properties of EFB (mf wt%).
Component / Property
Literature values
References
Measured
Method
Cellulose
59.7
[24]
na
na
Hemicellulose
22.1
[24]
na
na
Lignin
18.1
[24]
na
na
Elemental analysis
Carbon
48.9
[25]
49.07
Combustion analysis
Hydrogen
6.3
[26]
6.48
Nitrogen
0.7
[26]
0.7
Sulphur
0.2
[26]
<0.10
Oxygen
36.7
[26]
38.29
By difference
K
2.24
[27]
2.00
Spectrometry
K2O
3.08–3.65
[28]
na
na
Proximate analysis
Moisture
na
na
7.95
ASTM E871
Volatiles
75.7
[25]
83.86
ASTM E872
Ash
4.3
[20]
5.36
NREL LAP005
Fixed carbon
17
[26]
10.78
By difference
HHV (MJ/kg)
19.0
[25]
19.35
Bomb calorimeter
LHV (MJ/kg)
17.2
[27]
na
na

Distribusi ukuran partikel pakan setelah penggilingan ditunjukkan pada Gambar 3. Kadar abu masing-masing fraksi ukuran ditentukan dengan menggunakan National Renewable Energy Laboratory (NREL) Standar Metode Analytical LAP005, 23 dan rata-rata massa fraksi ukuran 5,39% membandingkan baik, dalam keakuratan pengukuran, dengan sampel asli dikirim oleh MPOB, yang memiliki kadar abu 5,36%.

\

1.      Struktur permukaan dan analisis EDX
Kami menemukan bahwa permukaan bahan baku dicuci bersih, dan tidak ada kotoran atau hal tertentu di permukaan. Namun, bahan baku dicuci ukuran mulai 355-500 m tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke feeder karena partikel cenderung menempel satu sama lain dengan mudah, sehingga membuat proses makan untuk 150 g/jam reaktor  sulit.
Tabel 3 menunjukkan hasil analisis unsur bahan baku dicuci dan bahan baku dicuci selama rentang kadar abu dan lindi, menggunakan Electron dispersif X-ray Spektroskopi (EDX). Hal ini menunjukkan bahwa hidrogen tidak dapat dideteksi dengan metode ini. Unsur-unsur seperti Al, P, Cl, Ti, Fe dan Cu telah dihapus selama pencucian. Namun, hanya Na, S dan K menurun dengan pengurangan kadar abu bahan baku. Perlakuan agitasi pengguna pada bahan baku yang besar pada suhu kamar selama 1 menit dan perendaman bahan baku yang besar pada suhu kamar selama 10 menit disebut sebagai metode 1 dan metode 2, masing-masing. Kami menemukan bahwa metode 2 lebih efektif daripada metode 1 dalam menghilangkan kalium, natrium dan belerang. Perlakuan mengaduk bahan baku yang besar pada 90 °C selama 2 jam, disebut sebagai metode 4, lebih efektif dalam menghilangkan kalium, natrium dan belerang oleh 70,4%, 100% dan 87,9%, masing-masing. Namun, perendaman bahan baku yang besar pada suhu kamar selama 20 menit, disebut sebagai metode 3, juga efektif menghilangkan kalium, natrium dan belerang sebesar 67,2%, 100% dan 37,9%, masing-masing. Perlakuan perendaman bahan baku yang besar pada suhu kamar selama 1 menit mengacu pada metode 5. Lindi adalah air dicuci yang dikumpulkan setelah perawatan cuci. Analisis EDX pada lindi metode 5 menunjukkan bahwa ia memiliki kandungan kalium tinggi sekitar 82,53% berat, yang diharapkan karena kandungan abu lindi itu bahkan lebih tinggi. Diharapkan bahwa lindi mengandung inorganics larut, seperti tanah dan organik larut.

Tabel 3: Komposisi Elemental dari kotor dan dicuci bahan baku
Element
Unwashed EFB
Method 1
Method 2
Method 3
Method 4
Method 5
(leachate)
(wt%)
C
64.3
65.8
69
73.4
72.4
0.03
O
19.8
20.2
18.9
17.8
19.0
3.79
Na
0.33
0.41
0
0
0
0.63
Mg
0.19
0.25
0.29
0.35
0
1.68
Al
0.16
0.1
0.51
0.03
0
0
Si
1.95
1.87
1.34
2
1.72
0.1
P
1.06
0.43
0.8
1.39
1.71
5.39
S
0.48
0.55
0.39
0.36
0.07
1.54
Cl
1.37
0.37
0.5
0.19
0.36
3.48

Table 3: (continued)
Element
Unwashed EFB
Method 1
Method 2
Method 3
Method 4
Method 5
(leachate)
(wt%)
K
8.61
9.1
7.68
2.82
2.55
82.5
Ca
1.43
1.47
1.76
1.56
1.53
1.06
Ti
0.13
0
0.06
0
0.29
0.03
Cr
0.15
0.25
0
0.55
0
0
Mn
0
0
0.06
0
0.05
0.02
Fe
0.29
0
0.48
0.08
0
0
Ni
0
0.26
0
0
0.59
0
Cu
0.31
0
0.28
0
0.23
0.04
Zn
0.12
0
0
0
0.66
0.06
Ash content (mf wt%)
5.43
3.68
3.05
2.14
1.15
34.1





2.      Analisis Termogravimetri TKS kotor dan dicuci TKS

       Karakteristik degradasi termal dari kotor dan dicuci bahan baku yang ditampilkan pada Gambar 4 dan Gambar 5 oleh termogravimetri (TG) dan kurva termogravimetri diferensial (DTG), masing-masing. Prosedur cuci digunakan untuk sampel dicuci memberikan kadar abu 1,15 mf% berat setelah dua jam pengadukan 100 g TKS dalam 7 liter air suling pada suhu 90 ° C. Kadar abu dari sampel dicuci adalah 5.43 mf% berat. Perilaku termal dari dua sampel secara substansial berbeda. kotor sampel menunjukkan puncak kecil DTG sekitar 200 ° C, yang mungkin menunjukkan extractives.29 ada puncak tersebut jelas untuk sampel dicuci. Sebuah penjelasan yang mungkin adalah bahwa suhu mencuci tinggi bisa menyebabkan hilangnya ekstraktif saat mencuci.


Gambar 4: analisis Termogravimetri dicuci dan kotor TKS.

Gambar 5: analisis termogravimetri Diferensial dicuci dan kotor TKS.


sampel kotor menunjukkan puncak tunggal pada 355 °C, dan sampel dicuci memiliki penurunan berat badan terbesar tersebut pada 383 °C. Selain itu, ada punuk di sekitar 320 °C untuk sampel dicuci, yang tidak terlihat dalam kurva DTG dari sampel dicuci. Tren serupa telah dilaporkan oleh penulis lain untuk abu rendah dan tinggi abu bahan baku biomassa. Secara umum diasumsikan bahwa pergeseran suhu karena efek katalitik abu dan bahwa pergeseran ini mengarah ke puncak DTG tunggal untuk kedua selulosa dan hemiselulosa untuk biomassa abu tinggi. Namun, punuk jelas dalam kurva DTG untuk biomassa abu yang rendah merupakan indikasi hemiselulosa dan puncak yang sebenarnya adalah karena dekomposisi selulosa.
Total penurunan berat badan antara 100-450 °C adalah 77,4% untuk sampel dicuci dan hanya 65,8% untuk sampel dicuci. Ada dua penjelasan. Pertama, abu itu sendiri sebagian besar tidak akan volatilise dan karena itu berkontribusi terhadap hasil arang. Kedua, abu juga diyakini berkontribusi untuk produksi arang yang lebih besar melalui aktivitas katalitik.
Sejumlah sampel dicuci lain dengan kandungan abu menengah telah mengalami analisis TGA. Kurva yang dihasilkan bervariasi lancar antara dua ekstrem seperti disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Total penurunan berat badan antara 100-450 ° C dan suhu penurunan berat badan maksimal tercantum dalam Gambar 6.


Figure 6: Weight loss in TGA between the temperatures of 100–450C.


B.     Sifat Produk Cair

          Tabel 4 menunjukkan karakteristik cairan pirolisis dari pekerjaan ini dibandingkan dengan pirolisis cairan yang berasal dari zaitun ampas tebu dan bahan bakar minyak bumi. HHV dihitung dari data analisis unsur menggunakan Channiwala dan rumus Parikh seperti yang ditunjukkan di bawah ini:

HHV = 0.3491C + + 1.1783H 0.1005S - 0.1034O - 0.0151N - 0.0211A (3)

Dimana HHV singkatan nilai kalor yang tinggi dari basis kering dan unit MJ / kg. Sebagian besar karakteristik cairan pirolisis dalam Tabel 4, dan hasil analisis produk cair dibahas dalam mengikuti subtopik.

Tabel 4: Perbandingan karakteristik cairan pirolisis dan bahan bakar minyak bumi
Type of liquids
Pyrolysis liquid collected in EP’s wall
Pyrolysis liquid collected in tank
Pyrolysis liquid of olive bagasse
Petroleum fuel
Reference
this work
this work
[33]
[34]
Water content,
mf wt%
6.66
21.68
0.1
Elemental analysis (mf wt%)
C
56.47
41.86
66.9
85.2
H
7.85
7.82
9.2
11.1
O
35.46
33.94
21.9
1.0
N
0.22
0.1
2.0
0.3








Table 4: (continued)
Type of liquids
Pyrolysis liquid collected in EP’s wall
Pyrolysis liquid collected in tank
Pyrolysis liquid of olive bagasse
Petroleum fuel
Reference
this work
this work
[33]
[34]
S
0
0
0
2.3
HHV, MJ/kg
(Channiwala and Parikh’s formula)
25.29
20.32
31.9
42.94
Density, kg/m3
1548
1206
1070
940
Viscosity, cP@25°C
not determined
46.31
51
180
pH
2.33
2.7
GPC analysis (g/mol)
Mp
447
222
Mn
382
357
Mw
562
564
Polydispersity
1.47
1.57


1.      Nilai pH
Semua cairan yang dihasilkan dari bahan baku dicuci dan bahan baku dicuci memberikan pH antara 2 dan 3, yang menunjukkan kadar asam tinggi yang muncul dari asam organik, seperti asam asetat dan format. Hal ini menunjukkan bahwa mengobati bahan baku dengan mencuci air tidak meningkatkan nilai pH cairan. Selain itu, baja ringan tidak cocok untuk penanganan atau penyimpanan karena bisa memiliki reaksi dengan cairan pirolisis. Pipa polypropylene, misalnya, telah digunakan untuk mengatasi masalah ini.

2.      Densitas
Seperti yang diharapkan, kepadatan cairan terjebak di dinding EP yang lebih kental dan memiliki kepadatan yang lebih tinggi dari densitas cairan dikumpulkan dalam tangki. Kepadatan cairan dikumpulkan dalam tangki dan pada dinding EP adalah 1206,1 kg/m3 dan 1548 kg/m3, masing-masing. Kepadatan minyak dan cairan pirolisis khas 940 kg/m3 dan 1230 kg/m3, respectively. Densitas cairan Pirolisis lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan minyak bumi, yang berarti bahwa cairan memiliki sekitar 42% dari kandungan energi bahan bakar minyak berdasarkan berat, tapi 61% secara volumetrik.

3.      Nilai Pemanasan
Biasanya, cairan pirolisis memiliki nilai pemanasan sekitar 40-50% bahan bakar minyak bumi konvensional. HHV dari cairan terkumpul di dalam tangki dan pada dinding EP memiliki nilai rata-rata 21.49 MJ / kg, yaitu sekitar 50% dari bahan bakar minyak bumi konvensional.

4.      Konten Char
Char adalah bubuk kasar dengan ukuran partikel berkisar dari kurang dari satu mikron ke beberapa milimeter, yang memiliki ukuran yang sama dan karakteristik bentuk sebagai bahan baku. Secara keseluruhan, isi char semua cairan dari bahan baku dicuci dan dicuci adalah di kisaran 0,2-2,0%. Menurut Peiyan, sangat kecil ukuran partikel char lebih mudah tertiup angin ke sistem pengumpulan. Oleh karena itu, suhu yang lebih tinggi memberikan minyak yang tinggi arang isinya.

5.       Viskositas
Karena cairan terjebak di dinding EP itu terlalu kental, viskositas diukur pada cairan dikumpulkan dalam tangki saja. Viskositas dari cairan segar dan cair berusia 25 ° C adalah 46,31 cp dan 67,58 cp, masing-masing. Cairan segar cairan diuji setelah 24 jam dari yang diproduksi dan cair tua adalah cairan yang disimpan selama 24 jam pada 80 ° C. Kita diharapkan bahwa viskositas pada seluruh cairan run ini akan lebih tinggi dari 46,31 cp jika viskositas cairan terjebak di dinding EP ini diperhitungkan. Seperti terlihat pada Tabel 4, viskositas minyak bumi dan cair pirolisis ampas tebu zaitun pada 25 º C adalah 180 cP dan 51 cP, masing-masing. Oleh karena itu, hasil ini menunjukkan bahwa kepadatan minyak bumi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan viskositas pirolisis cairan yang berasal dari ampas tebu zaitun atau cair pirolisis dari penelitian ini.

6.      Stabilitas
Stabilitas cairan pirolisis diperiksa dengan memantau perubahan viskositas, densitas dan pH. Kepadatan dan pH cairan pirolisis tetap konstan tetapi viskositas berubah dengan waktu. Stabilitas minyak diukur dengan menghitung indeks viskositas menggunakan Persamaan 2. Aston Viscosity Index (AVI) nomor untuk pirolisis cairan yang dihasilkan dari proses pirolisis pada biomassa kayu pada 500 ° C adalah sekitar 2,2. AVI untuk cairan dalam penelitian ini adalah 0,46. Dengan demikian, cairan ini cukup stabil karena jumlah AVI rendah. Menurut Salter, kandungan lignin dari cairan pirolisis sangat mempengaruhi stabilitas cairan karena semakin banyak lignin dalam cairan pirolisis, yang lebih stabil cairan tersebut, maka, AVI rendah.

7.      Kelompok Fungsional
Pirolisis cair dianalisis menggunakan spektroskopi FTIR untuk mendapatkan kesan kualitatif dari kelompok fungsional dasar hadir dalam minyak. Diukur penyerapan spektrum frekuensi dapat dilihat pada Tabel 5. CH tikungan getaran antara 1500 dan 1450 cm-1 menunjukkan adanya alkana. Penyerapan puncak antara 1750 dan 1625 cm-1 merupakan C = O getaran peregangan dan sugestif kehadiran asam karboksilat, keton dan aldehida. Puncak serapan antara 1675 dan 1600 cm-1 merupakan C = C peregangan getaran. Puncak antara 1300 dan 1000 cm-1 adalah karena adanya fenol dan alkohol, dan puncak penyerapan antara 900 dan 650 cm-1 menunjukkan adanya tunggal, polisiklik aromatik tersubstitusi atau kelompok

Tabel 5: FTIR komposisi kelompok fungsional cair pirolisis.
Frequency range (cm–1)
Group
Class of compound
3000 – 2800
C-H stretching
alkanes
1750 – 1625
C=O stretching
aldehydes, carboxylic acids, ketones
1675 – 1600
C=C stretching
alkenes
1500 – 1450
C-H bending
alkanes
1300 – 1000
C-O stretching
alcohol
900 – 650
O-H bending
phenol aromatic compounds

8.      Kadar Lignin Pirolitik
Lignin merupakan salah satu komponen utama kayu, dan lignin pirolitik merupakan air bagian larut dari cairan pirolisis. Lignin pirolitik dapat diperoleh dengan pengendapan cair pirolisis di kelebihan air. Dalam karya ini, pirolisis cair dikumpulkan dalam tangki berasal dari TKS dicuci diendapkan. Kandungan lignin pirolitik dalam cairan pirolisis dikumpulkan dalam tangki adalah 12,42% b/b, mirip dengan hasil lignin pirolitik dari bio-minyak yang berasal dari hard wood. lignin pirolitik memiliki nilai kalori yang relatif tinggi dan telah diusulkan sebagai pengganti formaldehida resin fenol. Untuk aplikasi ini, itu harus dipisahkan dari sisa minyak-bio dengan kondensasi diferensial dan pengumpulan dan menyajikan pilihan hemat energi.

9.      Berat Molekul
The pirolitik lignin cairan dikumpulkan dalam tangki dibuat dengan pengendapan cairan ini dalam air, dan massa molar lignin ditentukan menggunakan GPC. Kami menemukan bahwa massa molar rata-rata (Mw), jumlah rata-rata molar (Mn) dan massa molar pada puncak maksimum (Mp) dari lignin pirolitik adalah 886 g / mol, 588 g / mol dan 660 g / mol. Hasil massa molar untuk kedua fraksi cair (fraksi EP dan fraksi tangki) disebutkan dalam Tabel 4. Berat molekul merupakan indikator penting dari tingkat polimerisasi dan berat molekul puncak cairan terkumpul di dalam tangki jauh lebih rendah dibandingkan dengan fraksi lignin pirolitik.

10.  Perbandingan Feedstock
Sebuah perbandingan TKS dengan hasil dari literatur untuk bahan baku biomassa lainnya disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 6. Hasil produk untuk TKS dicuci mirip dengan yang dari kayu abu yang rendah, seperti poplar, sedangkan yield produk untuk TKS kotor lebih dekat dengan yang diperoleh untuk bahan baku lebih tinggi abu, seperti jerami gandum.

Tabel 6: Perbandingan TKS dengan bahan baku biomassa lainnya.
Feedstock
Unwashed EFB
Washed EFB
Poplar aspen
Corn stover
Wheat straw
Reference
this work
this work
[36]
[37]
[37]
Cellulose
[mf wt%]
59.7
42.3
31.0
32.4
Hemicellulose [mf wt%]
22.1
31.0
43.0
41.8
Lignin
[mf wt%]
18.1
16.2
13.0
16.7
Moisture
[mf wt%]
7.48–8.96
6.04–6.54
5.0
6.5
9.0
Ash [mf wt%]
5.29
1.03
0.39
11.0
4.6
Yields [mf wt%]
Char
24.52
10.76
11
42.2
22
Gas
22.31
14.70
14
13.7
19
Organics
34.71
61.34
58.9
27.3
37
Total Liquids
49.8
72.36
74.1
43.1
54




Gambar 7: Organik hasil sebagai fungsi temperatur untuk sejumlah bahan baku.

11.  Sifat Fisik dan Kimia Produk
Cairan pirolisis dihasilkan dipisahkan menjadi dua fase, fase didominasi oleh berlama-lama senyawa organik dan fase cair. Saham relatif dari total hasil produk cair dari dua fase adalah sekitar 60% untuk mantan dan 40% untuk yang kedua. Sebuah perbandingan sifat kunci untuk dua tahap dengan orang-orang yang berasal dari kayu bio-minyak, bahan bakar minyak ringan dan bahan bakar minyak berat diberikan dalam Tabel 7, yang juga berisi analisis akhir dari produk arang. Nilai untuk sulfur tidak ditentukan, karena ada sangat sedikit belerang di TKS itu sendiri. Karena kadar air yang tinggi, nilai kalor yang lebih tinggi dari fase berair tidak diukur.
Viskositas fase berair dekat dengan air, sedangkan fase organik hampir tidak mengalir sama sekali. Pada suhu kamar, fase organik jelas memiliki viskositas di atas 10.000 cP, batas untuk peralatan ukur yang tersedia bagi para penulis karya ini.
Rumus empiris dari organik dalam fase organik CH1.51O0.14. Sebagai perbandingan, rumus empiris untuk karbohidrat adalah CH2O, bahwa fenol adalah CHO0.17 dan lebih lama rantai alkana lurus mendekati formula empiris CH2. Ada kemungkinan bahwa fase organik mengandung sejumlah kecil minyak kelapa sawit, sebagai organik dalam fase organik memiliki hidrogen secara signifikan lebih tinggi untuk rasio karbon dibandingkan adalah kasus untuk kayu yang berasal ter pirolisis lambat.

Tabel 7: Karakteristik minyak pirolisis dibandingkan dengan bahan bakar minyak bumi.


EFB
Wood derived bio-oil
Light fuel oil
Heavy fuel oil
Organics phase
Aqueous phase
Char
C
69.35
13.83
71.43
32–48
86.0
85.6
H
9.61
11.47
1.80
7–8.5
13.6
10.3
N
0.74
0.14
0.63
<0.4
0.2
0.6
O
20.02
74.56
8.72
44–60
0
0.6
S
<0.05
<0.18
2.5
Moisture content
7.9
64.01
20–30
0.025
0.1
HHV (MJ/kg)
36.06
LHV (MJ/kg)
13–18
40.3
40.7

Fase dipisahkan produk cair akan mewakili bakar menantang untuk boiler dan mesin, karena viskositas tinggi dari fase organik dan kandungan air yang tinggi dari fase berair. Hal ini bisa diatasi dengan upgrade. Penambahan pelarut polar seperti metanol atau etanol merupakan salah satu rute termudah, 5 dan didirikan oleh penulis studi ini bahwa dua fase kedua mudah larut dalam metanol untuk menghasilkan satu produk-fase homogen dengan viskositas rendah. Beberapa peneliti telah mempelajari penambahan pelarut untuk mengurangi viskositas dan tingkat penuaan karena perubahan bio-oil komposisi selama penuaan dan saling kelarutan perubahan komponen untuk membuat pemisahan fasa lebih mungkin. Penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk menetapkan berapa banyak metanol akan harus ditambahkan minimal untuk mendapatkan cairan fase tunggal. Penambahan etanol juga dapat mengurangi korosi dan memungkinkan penghapusan air melalui suhu rendah distilasi vakum, yang dinyatakan sulit karena ketidakstabilan termal cairan pirolisis.
Upgrade termokimia kemungkinan lain, baik melalui gasifikasi dan Fischer-Tropsch, mana mungkin menguntungkan untuk mengubah menjadi gas char bubur bio-minyak daripada biomassa sendiri, atau melalui uap katalitik reforming fase cair untuk memperoleh hidrogen untuk hidrogenasi fasa organik.
Fase organik mungkin juga langsung digunakan dalam mesin, turbin dan boiler, jika Anda baru pertama pra-dipanaskan untuk mengurangi viskositas, meskipun ketidakstabilan termal mungkin membatasi suhu dapat dibawa ke. Fase berair berpotensi menjadi co-dipecat untuk mengurangi thermal NOx dan memungkinkan pembakaran efisien bahan kering terlarut. Seperti disebutkan dalam pendahuluan, itu juga mungkin untuk mendapatkan bahan-bahan kimia yang berguna, seperti senyawa fenolik untuk pembuatan resin, sebagai komersial-produk.
Karena hasil cair rendah, tidak semua char dan gas akan diperlukan untuk proses panas internal. Beberapa dapat digunakan untuk mengeringkan TKS segar sangat basah. Membakar char, yang berisi hampir semua mineral, akan memungkinkan pemulihan dari abu, yang berguna sebagai fertiliser.21 gas ini tinggi karbon dioksida dan memiliki nilai kalor yang lebih tinggi hanya sekitar 4 MJ / kg. Ini berpotensi dimanfaatkan untuk penyerapan skema enhanced oil recovery karbon.
Karena TKS segar sangat basah, mencuci TKS sebelum pirolisis cepat merupakan jalan lain yang menarik untuk meningkatkan nilai dari produk bahan bakar yang diperoleh, seperti pengeringan diperlukan sudah dan karena itu akan menambah biaya ekstra. Perendaman sederhana dalam air pada suhu kamar dapat menghapus sebagian besar abu, dengan kerugian biomassa kecil, memberikan bahan baku dengan karakteristik hasil yang sama seperti biomassa kayu abu yang rendah.






BAB IV

I.               KESIMPULAN

            Sebuah studi pirolisis cepat pada kotor dan dicuci Tandan Kosong (TKS) dilakukan dengan menggunakan g / jam reaktor unggun fluidised 150. Cairan yang dihasilkan dari kedua TKS kotor dan dicuci memiliki kandungan asam tinggi dan kepadatan cairan pirolisis khas, dengan Heating Value Tinggi (HHV) sekitar 50% dari bahan bakar minyak bumi konvensional. Char konten semua cairan dari bahan baku dicuci dan dicuci berada di kisaran 0,2-2,0% dari. Viskositas cairan memiliki nilai keseluruhan lebih tinggi dari 46,31 cp. Cairan itu rendah Aston Viscosity Index (AVI) dan karena itu dianggap stabil. Diukur penyerapan spektrum frekuensi ditunjukkan pada Tabel 5. Kandungan lignin pirolitik dalam cairan pirolisis dikumpulkan mirip dengan lignin pirolitik dihasilkan dari minyak nabati yang berasal dari kayu keras. Hasil massa molar untuk kedua cairan disajikan pada Tabel 4. Dengan bahan baku perbandingan, hasil produk untuk TKS dicuci adalah serupa dengan yang dari kayu abu yang rendah, sedangkan yield produk untuk TKS dicuci jauh lebih dekat dengan yang lebih tinggi bahan baku abu. Namun, cairan pirolisis yang dihasilkan dipisahkan menjadi dua fase, fase didominasi oleh berlama-lama senyawa organik (60%) dan fase berair (40%).





















DAFTAR PUSTAKA

Sri Komarayati 1 & Gusmailina 1. Prospek Bioetanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah.10 Maret 2010.Bogor

Hajar Hadyan Hani Bt Zaini. Production of bioethanol from Empty fruit bunch (efb) of oil palm. University College of Engineering & Technology Malaysia.2011

Nirwanto Honsono. Anlisis Lifecycle Bioetanol Berbasisi Tandan Kosong Kelapa Sawit Di Indonesia.Januari 2012.Fakultas Teknik Program Studi teknologi Bioproses.Depok


 Aidil Zamri Safril. Analisis Teknis Sudut Mata Pisau Terhadap Proses PencacahanTandan Kosong Sawit.Oktober 2006.Staf pengajar Jurusan Mesin Politeknik Negeri Padang

Enny Hawani Loebis.Optimasi Proses Hidrolisis Kimiawi Dan Enzimatis Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Glukosa Untuk Produksi Etanol. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Agustus 2008. Bogor

Norhayati Binti Abu Bakar.“A thesis submitted in fulfillment of the requirements for the award of the degree of Bachelor of Chemical Engineering”.Faculty of Chemical & Natural Resources Engineering.University College of Engineering & Technology Malaysia.november 2006


Genting Group unveils Malaysia’s first commercially produced bio-oil using breakthrough technology. (2005). Press release by Genting Group, 21st August.

Di Blasi, C., Branca, C. & D’Errico, G. (2000). Degradation characteristics of straw and washed straw. Thermochim. Acta, 364, 133–142.

Mullen, C. A., Boateng, A. A., Goldberg, N. M., Lima, I. M., Laird, D. A. & Hicks, K. B. (2010). Bio-oil and bio-char production from corn cobs and stover by fast pyrolysis. Biomass Bioenergy, 34, 67–74.

Jenkins, B. M., Bakker, R. R. & Wei, J. B. (1996). On the properties of washed straw. Biomass Bioenergy, 10(4), 177–200.

Das, P., Ganesh, A. & Wangikar, P. (2004). Influence of pretreatment for deashing of sugarcane bagasse on pyrolysis products. Biomass Bioenergy, 27, 445–457.

Bridgwater, A. V. & Peacocke, G. V. C. (1995). Biomass fast pyrolysis. Proceedings of the Second Biomass Conference of the Americas. Energy Environment, Agriculture, and Industry, NREL/cp-2008098, DE 95009230, NREL, Golden CO.

Diebold, J. P. (2002). A review of the chemical and physical mechanisms of the storage stability of fast pyrolysis bio-oils. In Fast pyrolysis of biomass: A handbook, ed. Bridgwater, A. V. London: CPL Press.


Scott, D. S., Paterson, L., Piskorz, J. & Radlein, D. (2000). Pretreatment of poplar wood for fast pyrolysis: Rate of cation removal. J. Anal. Appl. Pyrolysis, 57, 169–176.

Abdullah, N. (2005). An assessment of pyrolysis for processing empty fruit bunches. PhD thesis, Aston University, Birmingham, UK.



Total Tayangan Laman